Mengenai Saya

probolinggo, jawa timur, Indonesia
setiap perempuan dilahirkan untuk mengukir pelangi di langit kehidupan........

Rabu, 03 Maret 2010

EMBUN

EMBUN


Embun itu telah menitik menjadi mata air untuk kuda semberani yang baru turun dari langit. Ya, embun yang pernah menjanjikan sejuk pada matahari pagi. Tapi kini, wujudnya tak sekecil dulu. Ia telah menjadi muara, kubangan surga tempat singgah para bidadara.

Jika dulu, ia hanya udara. Maka kini, ia angin. Jika dulu ia ranting. Maka kini, ia pohon. Jika dulu ia awan. Maka kini, ia langit. Labirin yang pernah membuatnya terpuruk, sekarang berganti menjadi sebuah tempat lapang, tempat ia bisa mengukir hasratnya dengan sangat jelas.

Ia pernah mencintai dengan sangat tulus, dan orang itu merenggut keperawanannya. Selanjutnya, ia takut mencintai. Takut napas dan cengkeraman yang membuatnya trauma, akan terulang lagi. Tapi seorang lelaki yang turun dari langit, membuka matanya dan mengajaknya untuk pacaran. Waktu itu, bumi menjadi saksi abadi, bagaimana cinta itu perlahan tumbuh. Ibarat kecambah yang lama kelamaan dahannya meninggi, menjulang ke angkasa tak berbatas. Menjadi potret supernova yang mengalun dalam irama hatinya. Tapi, lama kelamaan, arjunanya menjelma jadi rahwana. Merenggut kehormatan dewi kunti yang telah memasrahkan dirinya sepenuh jiwa. Setelah itu ia enggan mencintai, ia pergi dari keramaian, baginya tak akan pernah ada cinta. Sekalipun ia benar-benar mencinta.

Namun lambat laun disadarinya, ternyata bukan cinta yang menyakitkan. Karena pada suatu pagi, seorang saudara lelakinya pun menyekapnya dalam kamar dan mencumbunya dengan rabaan dan napas setan yang memburu. Ia berontak. Tapi tenaganya terlalu lemah. Ia berteriak. Tapi mulut lelaki itu telah membungkam mulutnya.
Ternyata bukan cinta yang menyakitkan, tapi lelaki itu sendiri. Ya, lelaki yang memiliki tanduk mengerikan di selangkangannya. Yang dengan tanduk itu, ia lebih sering berpikir, bukan dengan akal pikiran.
Jika dulu, Embun menjadi korban dari lelaki. Maka kini, semua lelaki justru bertekuk di kakinya dan hanya bisa menikmati tubuhnya hanya bila bisa membayar setidaknya 10 juta untuk sekali main. Tak ada protes dari lelaki-lelaki jalang itu. Karena sekali lagi, mereka lebih suka berpikir dengan tanduk di selangkangan mereka daripada dengan akal pikiran.

Lagipula siapa yang tak tertarik pada Embun. Wajahnya seperti Cleopatra yang tersesat di kota Jakarta. Tubuhnya seperti lekukan Siti Zubaidah yang jika bukan karena Tuhan, Yusuf akan melumatnya dengan cinta tak terperi. Wibawanya seperti Elizabeth saat menolak lamaran dari Raja Spanyol, dan dengan wibawanya, armadanya berhasil menjajah separuh dari daratan dan lautan di bumi. Lehernya yang jenjang, rambutya yang terurai seperti malam pekat, dadanya yang menonjol di sela kain yang digunakannya, langkahnya yang tegap seperti saat Dewi Sri turun dari kayangan. Tak ada lelaki yang mampu menolak pesonanya.
“Embun, malam ini kau ada acara?” Seorang lelaki menelponnya pada saat ia sedang di kafe, menikmati secangkir cappuccino, sepotong pizza, dan menulis. Ya, selain pemain handal di atas ranjang, dia adalah penulis handal di atas keyboard laptopnya. Tulisan-tulisannya begitu memukau. Menggelinjang dan membangkitkan hasrat. Seperti saat lidahnya menjilati bagian-bagian tubuh sensitive para lelaki yang telah membayarnya.
“Tak usah basa-basi. Pukul berapa? Dimana? Berapa kauberani bayar?” sahut Embun.
“Hahaha! Keagresifanmu membuat aku makin tak sabar. Kamu memang embun, dingin, beku, tapi klorofil membutuhkanmu.” Jawab yang di seberang sana.
“Aku tak punya banyak waktu.” Embun hendak menutup telponnya, tapi segera dicegah oleh lelaki di seberang sana.
“Wait! ok, to the point aja. 15 juta, kutransfer sekarang. Nanti malam jam 8 di apartemenku.”
Begitu lelaki itu menyampaikan maksudnya, Embun langsung menutup tanpa jawaban. Begitulah selalu, reaksinya menutup telpon, menyakitkan, tapi itu adalah jawaban mengiyakan. Karena jika tidak, ia mengatakan tidak. Namun jika iya, cukup dengan klik!

Embun melajukan mobil Volvo hitamnya di jalanan Jakarta yang padat pengendara. Sesekali, asap rokok mengepul di sela bibir sensualnya. Dinyaringkannya lagu yang mengalun dari DVD player yang melekat di mobil itu. Full volume. Tepat jam 8 malam, ia telah berada di depan kamar si customer yang menelpon tadi siang. Senyum lebar menyambutnya.
“Silahkan masuk, Cleopatra.” Lelaki itu mempersilahkan Embun masuk. “Bagaimana? Tulisan-tulisanmu membuatku tertusuk. Kauadalah penulis handal, Embun. Tapi sampai kapan kaugunakan nama pena itu? Bintang Che_zan Salve? Kenapa tak kaugunakan namamu sendiri? Agar semua orang tahu siapa penulis sebenarnya.” Lelaki itu menyalakan 5 aroma terapi batang dan meletakkan di sudut-sudut ruangan. Wangi lavender.

Tak ada yang begitu memperlakukan Embun seistimewa itu, dengan preambul-preambul yang sopan, seperti dia. Karena kebanyakan lelaki, jika sudah berada di dalam kamar dengannya, tak akan membiarkan wanita itu diam sejenak untuk melepaskan bajunya. Dan langsung menerkam seperti buaya yang menemukan itik tersesat di tepi rawa.
Embun mematikan rokoknya.
“Fem, aku kotor. Tapi aku ingin tulisan-tulisanku tak terkontaminasi aku yang sebenarnya. Hanya dengan nama Bintang, aku merasa nyaman.” Embun melepas blus hitamnya dan meletakkannya di tepi sofa.
“Hahahaha! Tak usah berdusta. Bintang, itu nama yang sangat berarti buatmu kan? Nama seseorang yang sangat kaucintai di masa lalu. Yah, Bintang, yang kaupercaya tak ada yang mencintaimu seperti dia. Hahaha! Jangan naïf, Embun.” Lelaki bernama Femas Lazuardi itu menuangkan secawan anggur dan menyuguhkan untuk tamu istimewa, sebuah tindakan istimewa untuk seorang embun. Tapi wibawa dan kecantikannya memang layak diperlakukan istimewa seperti itu.
“Jangan ingatkan aku! Aku tak perlu ceramahmu.” Embun ketus dan mendekati Femas yang duduk di sofa sebelahnya. Ia jatuhkan tubuhnya di pangkuan Femas dan melumat bibirnya, erat, panas, lama, dalam. Ciuman indah yang memancing tangan Femas mengelana di tubuh indah itu. Setiap lekukan yang dirabanya menimbulkan desahan panjang yang membangkitkan birahi.
Embun adalah pensil yang menari di atas kertas, dan kertas itu adalah Femas. Permainan yang disuguhkan Embun di atas ranjang, membuat Femas berusaha sekuat tenaga untuk mengimbanginya. 5 jam permainan berlangsung, dan berakhir dengan erangan orgasme yang begitu dahsyat. Lalu mereka benar-benar terkulai karena lemas.
“Kaubegitu sempurna.” Femas memeluk tubuh Embun dari belakang dan mencium tengkuknya.
“Tak perlu merayu. Kita impas. Aku dapat uangmu. Kaudapat puasmu.” Embun berusaha menenggelamkan wajahnya di balik bantal sutera.
“Cintai aku.” Femas membelai rambut indahnya.
“Tak akan!”
“Karena cintamu telah tergadai pada Bintang? Seseorang yang tak memberikan cintanya, tapi hanya menyakitimu? Seorang pengecut yang tak bisa membelamu saat kau disakiti?” Femas memberondongnya. Bagaimanapun, lelaki itu telah mengenalnya luar dalam. Karena dulu, mereka sahabat dekat. Walau akhirnya, persahabatan itu pun berujung jual beli. 15 juta untuk 1 malam. Harga yang tepat untuk sahabat.
“Tak perlu kaubuka luka lamaku.” Embun tetap membelakangi Femas. Ditariknya selimut hingga menutupi dadanya yang masih tak tertutupi selembar kain pun.
“Aku ingin kautahu, aku mencintaimu. Menikahlah denganku. Tak perlu kau berpura-pura lagi setiap bercinta.”
“Apa maksudmu?” embun tak percaya lelaki itu begitu tahu apa yang ia rasakan.
“Setiap kali bercinta, hanya tubuhmu yang ada, tapi pikiranmu tidak.” Femas mematikan lampu tidur.
Memang, setiap kali Embun bercinta dengan lelaki, yang ia bayangkan adalah wajah Bintang. Yang ia bayangkan adalah tubuh Bintang. Tubuh yang begitu lembut memperlakukannya. Tubuh yang dicintainya, walau tubuh itu hanya mencintainya untuk satu kebutuhan dasar, nafsu. Tapi ia tak peduli. Ia cinta Bintang. Walau tubuh itu tak bisa membelanya saat ia disakiti.
“Kaupikir tidak ada yang bisa kaucintai seperti kaumencintai Bintang. Padahal lelaki itu brengsek. Tapi kaubegitu mencintainya. Cintai aku, dan akan kuberikan cinta terindah untukmu.” Femas masih memeluknya erat.
“Kaumencintaiku? Apa tak bosan? Sudah ribuan kali kauucapkan, jauh sejak kita masih ingusan dulu.”
“Tidak, aku tak bosan, karena cintaku padamu begitu merdu. Mengalun dalam hatiku. Tak ada yang aku cintai selain kamu. Percayalah.”
“Aku percaya. Tapi aku tak bisa mencintaimu.” Embun menutup mata. Tetes air mengalir dari kelopaknya.
“Cobalah kaumencintaiku. Latihlah hatimu untuk selalu mengingatku. Embun, aku tak akan mengecewakanmu. Ambil nyawaku jika ternyata suatu saat nanti aku membuatmu terluka. Ini dadaku untuk kautusuk dengan pedang, jika kaumenangis karena sedih.”
Anak sungai di pipi Embun berhenti mengalir. Ia tahu, sangat tahu bahwa Femas Lazuardi adalah sahabatnya. Sahabat yang pernah mengungkapkan cinta, cinta kekasih! Tapi Femas terlalu baik untuknya.
“Embun, tolong cintai aku! Jadikan aku sebagai lelaki milikmu satu-satunya. Akan kujadikan kau ratu di istana mungil kita dengan kurcaci-kurcaci kecil yang memanggilmu dengan sebutan Ibunda! Tak inginkah kau?” Femas mengacaukan pikirannya. “Jawab, Embun. Jangan pura-pura tidur.” Femas membalik tubuh Embun hingga benar-benar menghadapnya. “Engkau menangis?” Tanya Femas, meraba pipi Embun yang mengalir hujan tipis.
Dipeluknya tubuh Embun. Dirangkulnya erat di dada bidangnya. Belum pernah ia temui Embun menangis. Menitikkan bening emas dari mata elangnya.
Pagi menjelang, embun mengguyur tubuhnya dengan aliran air, dingin. Dibenamkan tubuhnya dalam guyuran air shower.
“Embun, kutunggu jawabanmu.” Ucap Femas singkat, sebelum Embun meninggalkan apartemennya.
Embun menatap Femas lekat-lekat. Ah, lelaki yang begitu tampan dan baik. Didekatkannya tubuhnya, lalu dipagutnya bibir lelaki berdarah indo itu dengan lembut. Ciuman indah di pagi hari.
Femas bergetar. Ia rasakan ciuman Embun saat itu berbeda dengan ciuman-ciuman sebelumnya. Lebih menawan. Lebih berperasaan.
“Jawabannya akan kukirim sore nanti.” Jawab embun sambil berlalu.


Sore pukul 16.00, Femas menata draft kerjanya. Siap-siap untuk presentasi dengan perusahaan multi power yang akan bekerja sama dengan perusahaan miliknya keesokan harinya. Hari itu hari Minggu, satu-satunya hari istirahat yang dimiliki Femas, hari yang selalu membuatnya bergairah menghadapi hari Senin. Karena pada malam Minggunya, ia selalu bersama Embun.
Bel pintu berbunyi.
Dia terhenyak. Embun? Hatinya berbunga.
Dibukanya pintu.
“Maaf mas, mengganggu, ada titipan paket. Silahkan tandatangan.”
Begitu tukang pos itu pergi. Femas menutup pintu. Ah, pasti paket dari klien, pikirnya. Dibukanya sampul paket, lalu ia membaca judul buku yang terbungkus di sana. Sebuah novel, “Bintang pagi dan Lazuardi malam” karya Bintang Che_zan Salve. Di bawah novel itu juga ada surat, terbalut warna biru.

To;
Femas Lazuardi….


Ketika bingkisan ini sampai di tanganmu. Aku telah pergi. Meninggalkan Jakarta dengan semua kepura-puraannya. Meninggalkan cintamu dan cintaku dalam pertanyaan maha besar yang tak mampu kujawab. Novel ini, adalah dedikasiku untukmu. Walau aku tak bisa mencintaimu seperti Bintang, tapi aku mencintaimu seperti aku mencintai Lazuardi. Tak perlu kaucari aku. Karena aku tak akan pernah kembali. Biarlah kumanfaatkan sisa waktuku untuk menjadi guru di pedalaman, sebuah pelosok di Indonesia, dimana kautak akan menemukanku. Tapi aku akan selalu menemukanmu setiap kali kutengadah, karena kau adalah lazuardi. Lazuardiku. Semoga kaumendapatkan wanita suci dan baik untuk temani langitmu.

Diciumnya surat itu dan memencet nomor hp Embun.
NOMOR YANG ANDA TUJU SEDANG TIDAK AKTIF!

KENAPA HARUS DIA?

AGHHHHHHHHH!

Selasa, 02 Maret 2010

siapa mereka?


banyak yang melihat perempuan hanya dari fisik. sedangkan idealisme yang bersarang di balik kerudung atau di balik rambut indah mereka, sama sekali dipandang sebelah mata oleh kaum lelaki. ups! lupa, bahkan perempuan pun kadang tidak menyadari potensi yang mereka miliki sebenarnya. dari segi fisik, perempuan memang lebih lemah daripada lelaki. kesimpulan sederhananya, lelaki lebih unggul dan lebih kuat dibandingkan perempuan. namun, dari segi kreativitas dan pola pikir, eits! tunggu dulu! kayaknya kita perlu lebih teliti lagi deh. saking berharganya sosok perempuan, sampai-sampai dijadikan sebagai ikon dari hari Ibu (kalau ada hari bapak, mungkin lucu kali ya.... hehehe). selain itu, dalam jajaran kementrian pun, kita tahu ada bidang menteri pemberdayaan perempuan (kalau ada menteri pemberdayaan laki-laki, mungkin....mungkin....kucing tetangga bakal terbahak-bahak ya...?!).

perempuan, perempuan, perempuan!

perempuan, bidadari dari tulang sulbi laki-laki yang tak lemah dihantam luka dan tak remuk diterjang masalah. dialah perempuan, yang bernyanyi dengan buliran airmata, tapi tak pernah meminta laki-laki untuk membelikan tisyu dan hapus bening-bening kristal di pipinya. karena para malaikat telah menyediakan sutera bersulam cahaya, dan setiap perempuan adalah pemilik sejati dari nur suci itu.